Penulis:
Eka Chayani Mustika Hati, Titis Nurvitasari
Di Indonesia keberagaman sudah menjadi hal yang biasa, mulai dari perbedaan ras, suku, agama, budaya, dan bahasanya. Dibalut oleh semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai lambang persatuan dan sudah disepakati secara bersama untuk saling menghargai tanpa menghakimi. Nilai-nilai dari setiap budaya memiliki perbedaan tapi khas dan unik, tidak heran dengan melintangnya keberagaman hingga menarik perhatian penduduk dunia. Terdapat suatu daerah provinsi di Indonesia yang dikenal dengan kekentalan budaya dan adat-istiadatnya yang terus diwariskan secara turun-temurun, dan daerah tersebut juga telah dikenal hingga mancanegara. Ya, daerah tersebut adalah Bali, siapa yang tidak kenal Bali, salah satu daerah yang tidak pernah absen aktivitas wisatanya yang datang dari berbagai mancanegara. Berbagai keindahan alam, tempat wisata, kuliner, bahkan budaya yang dimiliki Bali, mampu menghipnotis setiap pasang mata yang mengunjungi.
Namun, ada sesuatu yang unik dan menggelitik penulis mengenai budaya yang ada di Bali, bukankah selama ini sudah banyak budaya baru yang datang dan muncul akibat dari setiap turis yang berkunjung. Terlebih perkembangan zaman yang semakin meluas dan mendunia banyak menimbulkan masalah baru akibat dari komunikasi dan interaksi. Hebatnya Bali masih tetap berpegang erat dengan nilai-nilai serta kebudayaannya hingga saat ini. Tentu saja ini menjadi perbincangan hangat bagaimana cara Bali dalam menerima serta menyikapi budaya baru yang masuk tanpa menghilangkan budaya asli daerah itu sendiri.
Seperti akulturasi budaya Bali terhadap tradisi Tionghoa yang telah terjalin sejak lama. Walau notabene mayoritas bali adalah umat Hindu-Budha, tetapi tempat beragama kelenteng telah mencapai ratusan tahun dibangun. Hal tersebut menjadi pertanyaan, mengapa Bali dapat sangat menerima budaya yang memiliki berbeda dari budaya mereka. Hal ini ternyata disebabkan oleh hubungan baik antara masyarakat Bali dengan masyarakat Tionghoa sebagai pendatang di Pulau Dewata tersebut. Di sisi lain, perayaan Imlek juga turut semarak dirayakan setiap tahunnya.
Sumber: Dokumentasi Baliprawa.com (2022)
Secara historis dan budaya yang melekat pada masing-masing kultur terdapat banyak kesamaan. Hingga sekarang banyak sekali dapat kita lihat budaya-budaya tersebut menjadi momentum akulturasi dan tingginya toleransi. Baru-baru ini sebuah acara
pelepasan lampion di Candi Borobudur menjadi festival tahunan dalam perayaan Hari Raya Waisak, sebelumnya lampion identik dengan perayaan Imlek. Namun, setiap negara pelepasan lampion punya makna yang berbeda dan dilakukan pada hari raya sesuai dengan ketetapan negara tersebut. Dalam negeri sendiri, Bali memaknai pelepasan lampion dalam Hari Raya Waisak.
Hari Raya Waisak merupakan peringatan tahap kehidupan Buddha (Siddharta Gautama) dalam rangkaian kelahiran, kematian, dan pencerahan. Salah satu rangkaian acara Waisak ini adalah pelepasan lampion, prosesi pelepasan lampion ini menyimbolkan kesetiaan para umat Buddha untuk menyalakan cahaya perdamaian. Cahaya ini juga disimbolkan sebagai masa depan yang cerah. Lampion tersebut diharapkan dapat menjadi penerang dalam kegelapan dan kesedihan yang dirasakan, sehingga akan ada banyak kebahagiaan di masa depan tersebut. Oleh karena itu, masyarakat yang turut ikut disaat pelepasan memanjatkan berdoa dan permohonan baik bagi mereka.
Sumber: Instagram Fathurrabi dan Suryabaru (2023)
Tak hanya umat beragama Buddha yang diperbolehkan ikut serta dalam festival ini, tetapi masyarakat beragama lain juga diperbolehkan bahkan turis asing pun turut meramaikan. Tentu ini menunjukkan luar biasanya Indonesia, menyatukan perbedaan melalui Festival Lampion Waisak sebagai simbol kebudayaan yang erat dan kuat di pegang sampai saat ini. Menunjukkan Bhinneka Tunggal Ika yang harus disampaikan kepada dunia bahwa di Indonesia menggaungkan toleransi. Sesuai dengan tagline yaitu “Toleransi” dengan mengusung tema “Aktualisasikan Ajaran Buddha Dharma di Dalam Kehidupan Sehari-hari” kemudian dengan subtema “Momentum Waisak Memperkuat Persatuan dan Kesatuan Bangsa Serta Perdamaian Dunia”.
Sesuai dengan pengertian akulturasi budaya sebagai perpaduan yang berbeda menjadi satu bingkai kemudian membentuk budaya baru tanpa menghilangkan nilai budaya sebelumnya. Tri Hita Karana menjadi filosofi tiga aspek hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan sesama manusia, dan hubungan dengan alam. Kemudian ada Menyama Braya perpaduan konsep kebudayaan lokal unsur Pawongan yang berarti menjaga hubungan baik antar manusia dari konsep Tri Hita Karana yang diaktualisasikan dalam Tat Twam Asi (aku adalah kamu dan kamu adalah aku), Wasudewa Khutumbhakam (kita semua bersaudara), segilik seguluk selulung sebayantaka, paras paros sarpanaya, saling asah, asih, asuh (bersatu padu, menghargai pendapat orang lain, saling mengingatkan, menyayangi, dan tolong menolong).
Kedua konsep tersebut yang dipegang oleh masyarakat Bali sebagai representasi kehidupan yang harmonis dalam keberagaman. Dan inilah Bali dengan kekentalan budaya serta nilai-nilai yang dimiliki dan menjadi acuan bagaimana cara merespon yang bijak tanpa menimbulkan pertikaian. Karena kita terbalut dalam satu bingkai maka sudah seharusnya saling toleransi karena setiap nilai yang dimiliki punya makna tersendiri. Dan Bali menjadi salah satu contoh diantara ribuan budaya di Indonesia yang mengedepankan toleransi.