Sumber gambar: google.com via freepik.com
Oleh: Kartika Nur Asniati, Try Desy Rahmawati
Budaya merupakan suatu cara hidup seseorang yang sifatnya turun-temurun. Menurut EB Tylor (1871); Di Dalam budaya terdapat kompleksitas yang meliputi keyakinan, pengetahuan, seni, hukum , bahkan etika. Budaya juga dapat menjadi kebiasaan yang sulit diubah, sehingga dapat memberikan suatu “stereotype” tertentu yang bernilai positif atau bahkan negatif pada masyarakat.
Contoh budaya yaitu, Budaya tepat waktu misalnya. Waktu tidak pernah lepas dari kehidupan manusia. Waktu bukanlah benda. Tidak ada yang dapat melihat,mendengar,bahkan menyentuh waktu. Namun, dalam pandangan budaya, semua budaya pasti sadar akan pentingnya waktu. Maka dari itu, secara garis besar kita hidup dalam waktu.
Saat ini masyarakat Indonesia dapat dikatakan krisis budaya tepat waktu, mengapa demikian? Contoh sederhananya dalam kehidupan sehari-hari, misalnya janjian bersama teman untuk belajar atau sekedar ngopi bersama. Misal waktu yang ditentukan adalah pukul 17.00 namun memutuskan pergi jam 16.50. Dalam kurun waktu yang sangat sempit, apakah 10 menit bisa mengantarkan ke lokasi tujuan dengan tepat waktu? Bagaimana kalau macet? Bagaimana kalau ada perbaikan jalan sehingga harus mencari alternatif jalan lain?
Di Indonesia sendiri budaya “ngaret” atau kebiasaan datang terlambat merupakan sebuah fenomena yang dirasa sudah mengakar dalam masyarakat. Hal ini terjadi bahkan dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Lantas mengapa kebiasaan ini seringkali dianggap sebagai hal yang lumrah? Tentu hal ini terjadi karena adanya dorongan diri sendiri maupun lingkungan sekitar. Faktor dorongan diri sendiri misalnya adanya kebiasaan bermalas-malasan, sedangkan faktor lingkungan misalnya marak orang-orang di sekeliling kita kerap melakukan hal yang sama. Hal ini yang kemudian menciptakan persepsi yang salah pada masyarakat, sebab seharusnya kebiasaan “ngaret” seperti ini seharusnya diubah, bukan untuk ditiru.
Sepertinya pertimbangan-pertimbangan sangatlah penting saat ngaret, sebab kita tidak pernah tahu sesibuk apa orang yang akan kita temui. Seharusnya kita paham bagaimana etika menghargai orang lain. Tidak tepat waktu merupakan contoh yang tidak baik. Jjangan sampai perilaku “ngaret” menjadi suatu hal yang dimaklumi, apalagi dengan alasan “ah pasti dia juga belum datang kesana” atau “nanti aja deh masih jam segini” sebagai pembelaan.
Dalam hal ini, kita bisa mencontoh negara lain sebagai perbandingan. Sebagai contoh negara jepang dan Korea Selatan. Di Jepang, tepat waktu merupakan bagian dari tata krama yang telah ditanamkan sejak kecil, dan terlambat sedikit saja dapat menyebabkan masalah yang besar. Dalam menghargai waktu, Masyarakat Jepang mempunyai konsep bahwa “waktu adalah uang”
Sama halnya dengan Korea Selatan, dimana mereka juga sangat menghargai ketepatan waktu. Salah satu contoh nyata dari budaya ketepatan waktu di Korea Selatan adalah transportasi umum yang sangat tepat waktu. Kereta api dan bus di Korea Selatan dikenal sangat jarang sekali terlambat, sehingga masyarakat dapat mengandalkan transportasi umum untuk tiba tepat waktu di tempat tujuan. Selain itu, dalam dunia kerja, datang terlambat di Korea Selatan dianggap sebagai tindakan yang tidak hormat dan dapat berdampak buruk pada reputasi seseorang.
Hal ini menunjukkan bahwa budaya tepat waktu dapat menjadi contoh yang baik untuk ditiru, guna meningkatkan kesadaran akan pentingnya ketepatan waktu dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam hal ini Indonesia dapat belajar dari nilai-nilai disiplin dan menghargai waktu dari negara Jepang dan Korea Selatan. Perbandingan ini bukan bermaksud menjatuhkan, justru dengan maksud mengubah perspektif dan mengambil sisi positif dari kedua negara tersebut, lalu kemudian mengubahnya menjadi contoh yang baik bagi kehidupan masyarakat. Hal tersebut dapat meningkatkan efisiensi, produktivitas, kualitas kerja, dan juga menciptakan lingkungan yang lebih teratur dan disiplin. Seperti yang diterapkan di Negara Jepang dan korea selatan.