Ditulis oleh :

Aulia Nita Rahim dan Dara Andrea Putri.

Samarinda – Globalisasi sudah sejak lama masuk dan membawa pengaruh yang signifikan dalam pola hidup sosial masyarakat Indonesia. Termasuk budaya-budaya asing yang menjamur dan mulai digandrungi khususnya anak-anak muda usia remaja. Budaya barat Eropa, budaya musik K-Pop dari Korea menjadi salah dua dari sekian banyaknya budaya yang ada di Indonesia saat ini.

Kemajuan teknologi juga sangat memudahkan budaya-budaya asing masuk ke Indonesia. Saat ini, tidak ada anak-anak terlebih usia remaja yang tidak menggunakan telepon genggam. Hal ini tentu mampu membawa dampak positif dan negatif tergantung bagaimana individu menanggapi pola perilaku tersebut. Pada artikel ini, kami akan menyampaikan opini kami beserta contoh dari dampak positif dan negatif dari budaya asing yang rentan mempengaruhi remaja-remaja Indonesia.

DAMPAK POSITIF

Sempat viral pada masanya, sepasang siswa siswi SMPN 1 Ciawi Bogor, Devina dan Keisha memiliki bakat dansa dalam bidang dance sport dan telah membuktikan bakat mereka dengan memenangkan medali emas PORPROV Jabar 2022, atlet cabang olahraga Dance Sport. Mereka pun telah memenangkan 3 medali emas.

Dance sport sendiri merupakan tarian dansa yang berawal dari kaum sosialita Prancis, lalu kemudian resmi menjadi salah satu cabang olahraga dansa dan diakui oleh IOC (International Olympc Committee). 

Namun, hal ini sempat menjadi kontroversi setelah mencuat ke masyarakat. Banyak yang menghujat, bahkan sampai menghujat mereka dengan sebutan “generasi rusak”.

Lantas apa yang membuat opini publik menjadi demikian?

Saya pun miris membaca komentar-komentar di sosial media terkait berita ini. Banyak yang menyangkut pautkan dengan agama, karena melihat siswi perempuan tersebut menggunakan jilbab. 

“Merusak generasi dengan didikan gak bener, tandain sekolahnya”.

“Astaghfirullah, bukan mahrom. Gaboleh pegang-pengangan tangan. Susah anak-anak zaman sekarang terlalu mengikuti budaya kebarat-baratan”

Dan berbagai komentar lainnya. Dimana menurut saya, komentar-komentar negatif mereka tidak sepenuhnya benar. Memang benar, dari segi agama saya sendiri melarang sentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom-nya. Namun, seandainya sejak awal siswi SMP tersebut tidak mengenakan hijabnya, apakah orang-orang akan serta merta menyalahkan dan langsung mengaitkan dengan agama?

Sayangnya, kebanyakan masyarakat Indonesia gemar sekali melakukan stereotyping terhadap hal-hal yang tidak biasa dimata mereka, dengan langsung memberikan hujatan yang tidak solutif serta menutup mata dan telinga mereka dengan fakta lainnya. Hal ini pun mampu menjadi salah satu penghambat komunikasi multikultural di Indonesia, sikap etnosentrime mereka terhadap budaya lain terutama budaya asing juga mampu membuat orang-orang yang ingin mencoba menjadi tertekan. Sehingga budaya-budaya asing yang baik tidak dapat terserap dengan baik pula.

Padahal jika kita lihat, Devina dan Keisha memiliki bakat yang tidak semua orang mampu memilikinya. Terlepas dari opini publik tentang agama, jika kita lihat dari sisi positifnya, seandainya bakat ini diasah dan diperhatikan dengan baik, mereka akan mampu membawa nama harum Indonesia dikancah Internasional dengan bakat yang mereka miliki. Prestasi tidak hanya melulu tentang pena diatas kertas, namun bakat yang dimiliki oleh seseorang juga dapat menjadi prestasi yang membanggakan.

DAMPAK NEGATIF

Pengaruh budaya asing sangat cepat sekali menyebar dengan semakin canggihnya teknologi saat ini. Dari adanya kemajuan teknologi terhadap beberapa informasi global dapat mengubah perkembangan pola perilaku masyarakat secara cepat terutama terhadap anak-anak menuju masa remaja yang masih terbilang wajib untuk dilakukannya pengawasan terhadap informasi apa saja yang dapat diakses melalui gawai mereka. 

Namun, apa yang membuat perubahan terhadap perilaku dan perkembangan pada remaja?

Salah satu dampak yang dapat kita lihat bisa dari lingkungan di sekitar kita. Mungkin untuk beberapa anak di Indonesia mereka tumbuh dengan beberapa parenting dari orang tuanya yang membiasakan anaknya menonton video edukasi melalui media sosial. Namun, berbeda dengan pertumbuhan yang dialami oleh adik sepupu laki-laki saya sendiri (Re: penulis, Dara). Ia justru malah mengalami perubahan yang cukup drastis melalui perkembangan teknologi saat ini, apalagi media sosial yang sampai saat ini berkembang dengan pesat dan menyebar dimana-mana. 

Disaat yang lain menggunakan teknologi sebagai hal yang positif, tapi justru ia malah sebaliknya. Yang dimana ia sekarang cenderung lebih bermain ke Handphone untuk melihat video K-pop  yang biasa kita kenal dengan dance Korea dibanding dengan mencari ulasan mengenai video edukasi pendidikan.

Lalu, setelah banyak melihat video tersebut akhirnya ia mencari tahu asal dan profil anggota tersebut. Setelah mencari tahu, akhirnya ia mulai mempelajari satu demi satu gerakan yang ditampilkan dari beberapa video yang ia tonton tadi. Yang membuat ia lebih terpengaruh terhadap budaya luar. Hal ini mungkin dapat memicu pertumbuhannya dari badannya yang sekarang menjadi lemah gemulai, dan suara teriakan yang lebih melekik seperti perempuan. Sehingga ini bisa saja terjadi unsur ketidaksengajaan mengikis nilai budaya lokal sehingga akan berpengaruh bagi kehidupan para remaja yang ada di tengah masyarakat.

KESIMPULAN

Melihat dari dua isu diatas, dapat kita simpulkan bahwa budaya asing sangat mudah menjadi pengaruh terhadap usia anak-anak hingga remaja. Dimana masa-masa ini adalah masa-masa keingintahuan mereka terhadap sesuatu sangat tinggi. Mereka akan mencari tahu lebih dalam, terlepas salah dan benarnya jika tanpa controlling dari orang tua. Sehingga untuk usia rentan ini, peran didikan serta dampingan orang tua sangat dibutuhkan.

Persamaan dari dua contoh isu diatas adalah sama-sama mengadopsi budaya tari-tarian yang berasal dari luar Indonesia, namun yang menjadi pembeda adalah jika salah satu dapat menjadi prestasi, sedangkan yang satu lagi malah menjadi salah kaprah dengan mengikuti budaya yang tidak sesuai dengan kodratnya. Hal-hal seperti ini tentu membutuhkan didikan orang tua agar tidak ada istilah “kebablasan” bagi anak mengikuti perkembangan zaman.

Artikel opini ini ditulis oleh Mahasiswi S1 Program Studi Ilmu Komunikasi Semester 3, Universitas Mulawarman. Untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Komunikasi Multikultural oleh Dosen Pengampu Dr. Rina Juwita, S.IP., MHRIR, atas nama :

  • Aulia Nita Rahim 2202056072
  • Dara Andrea Putri 2202056089

Loading

By redaksi