SAMARINDA, Cakrawalakaltim.com – Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kalimantan Timur (Kaltim) tengah mengevaluasi simulasi program Makan Bergizi Gratis (MGB). Program ini bertujuan untuk memastikan kebutuhan gizi siswa terpenuhi, meskipun dalam pelaksanaannya ditemukan sejumlah tantangan, terutama terkait biaya dan distribusi di berbagai daerah.

Plt Kepala Disdikbud Kaltim, Irhamsyah, mengungkapkan bahwa salah satu kendala utama adalah perbedaan tingkat kemahalan bahan makanan di setiap wilayah.

“Yang jelas angka kecukupan kebutuhan gizi kita coba penuhi, tetapi mungkin budgetnya akan membengkak karena tingkat kemahalan masing-masing wilayah kan berbeda,” ujarnya usai menghadiri Rakornas Produk Hukum Daerah di Odah etam, Senin (20/1/2025).

Ia mencontohkan bahwa harga Rp10 ribu di satu daerah bisa mendapatkan satu butir telur, tetapi di daerah lain mungkin hanya seperempatnya.

Untuk mengatasi tantangan ini, Disdikbud Kaltim masih menunggu keputusan dari pemerintah pusat mengenai besaran anggaran yang akan diberikan.

“Pokoknya kita tunggu nanti, apakah dari pusat memberikannya tetap Rp10 ribu. Kalau tetap, maka subsidi dari pemerintah daerah berapa nih untuk menutupi angka kecukupan gizinya?” jelas Irhamsyah.

Dalam pelaksanaan program ini, Disdikbud Kaltim berencana melibatkan UMKM sebagai penyedia makanan bergizi bagi siswa. Selain membantu perekonomian lokal, langkah ini diharapkan dapat memastikan keberlanjutan program dengan bahan pangan yang lebih mudah dijangkau.

“Kurang lebih nanti kita akan bekerja sama dan melibatkan UMKM,” tambahnya.

Khusus untuk daerah-daerah terpencil dan perbatasan, tantangan lain yang muncul adalah biaya distribusi yang lebih tinggi.

“Untuk daerah remote atau perbatasan, itu akan jauh lebih mahal biayanya, khususnya di Mahulu,” kata Irhamsyah.

Oleh karena itu, pemerintah daerah berencana bekerja sama dengan Kodim dan Kepolisian dalam pengelolaan logistik dan pendistribusian bahan makanan.

Selain aspek distribusi, Disdikbud Kaltim juga memperhatikan kebutuhan spesifik siswa di Sekolah Luar Biasa (SLB). Salah satu temuan dalam evaluasi adalah ketidakcocokan konsumsi susu UHT bagi siswa SLB karena dapat memicu reaksi tertentu.

“Kemarin untuk sekolah SLB itu mencatat bahwa mereka tidak boleh mengonsumsi susu UHT. Makanya kita ganti dengan susu kedelai yang tidak memicu reaksi,” ungkap Irhamsyah.

Namun, pengadaan susu kedelai juga menjadi tantangan tersendiri karena belum ada produksi dalam skala besar di Kaltim.

“Kalau berdasarkan petunjuknya, pangannya itu berasal dari petani-petani lokal. Tapi kalau untuk susu kedelai, mungkin di daerah kita belum ada produksi. Maka mungkin kita akan mengganti dengan susu kedelai kemasan,” jelasnya.

Dengan berbagai tantangan yang ada, Disdikbud Kaltim terus mengevaluasi program MGB agar dapat berjalan dengan efektif dan memberikan manfaat optimal bagi siswa.

“Pokoknya kita masih menunggu arahan dari pusat. Yang jelas, program ini penting untuk memastikan siswa mendapatkan asupan gizi yang cukup,” pungkas Irhamsyah.(DV/MYG)

Loading

By redaksi