SAMARINDA, Cakrawalakaltim.com – Sebuah rumah sakit swasta di Kota Samarinda kembali menghadapi masalah serius setelah seorang pasien diduga menjadi korban malapraktik. Kasus ini melibatkan seorang wanita yang mengalami komplikasi kesehatan setelah mengonsumsi makanan tertentu.
Pasien tersebut, berinisial RK, mengaku memiliki riwayat penyakit maag. Pada 15 Oktober 2024, setelah mengonsumsi ketan, kondisinya memburuk dan ia mengalami gejala yang mengharuskannya untuk mencari perawatan medis. Ia pertama kali berobat ke fasilitas kesehatan yang terdaftar dalam program BPJS Kesehatan.
“Di sana, ia didiagnosis mengalami kambuhnya penyakit lambung dan disarankan untuk dirawat inap karena kondisinya lemas dan dehidrasi,” ungkap kuasa hukum pasien, Titus Tibayan Pakalla, Kamis (8/5/2025).
Pada 17 Oktober 2024, pasien dirujuk ke rumah sakit lain untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut, namun kamar inap penuh. Ia kemudian berpindah ke rumah sakit lainnya, tetapi mengalami situasi serupa. Akhirnya, ia dirawat di rumah sakit swasta yang bersangkutan.
Setibanya di rumah sakit tersebut, pasien melaporkan keluhan muntah dan diare. Meskipun ia menjelaskan riwayat penyakitnya, perawat di rumah sakit tersebut diduga melakukan tindakan yang tidak semestinya, termasuk menekan perut pasien dengan kuat, yang menyebabkan rasa sakit yang parah.
Pasien dirawat selama dua hari, dan pada hari kedua, dokter mendiagnosisnya dengan usus buntu, meskipun pasien merasa sudah pulih. Meskipun menolak untuk dioperasi, pasien merasa terpaksa melakukannya setelah dokter mengancam akan mengalihkan biaya perawatan ke pembayaran pribadi jika ia menolak.
Setelah menjalani operasi pada 20 Oktober 2024, kondisi pasien justru memburuk. Ia mengalami demam tinggi dan muntah, dan meskipun dokter menyatakan ia boleh pulang pada 22 Oktober, pasien masih merasakan nyeri hebat di area bekas operasi.
Setelah pulang, pasien pingsan dan berusaha kembali ke rumah sakit, namun ditolak dengan alasan tidak ada dokter yang tersedia. Pihak rumah sakit malah memberikan surat rujukan yang menyatakan bahwa pasien dalam keadaan stabil, meskipun kenyataannya ia masih sakit.
Kuasa hukum pasien menyatakan bahwa mereka akan meminta pertanggungjawaban dari pihak rumah sakit dan dokter yang menangani. Mereka berencana untuk menempuh jalur non-litigasi dan telah mengajukan permohonan untuk difasilitasi oleh DPRD setempat. Namun, pihak manajemen rumah sakit dan dokter yang terlibat tidak hadir dalam pertemuan tersebut.
Jika tidak ada itikad baik dari pihak rumah sakit, mereka akan mempertimbangkan untuk mengambil langkah hukum, mengingat pasien diduga menjadi korban malapraktik.
“Pasien tidak boleh dipaksa dalam tindakan medis, dan berhak menolak prosedur yang tidak diinginkan,” tegas kuasa hukum.(MYG)