SAMARINDA, Cakrawalakaltim.com – Akademisi Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah menegaskan pentingnya sinergi antara Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan masyarakat sipil untuk menjaga arah demokrasi Indonesia menjelang Pemilu 2029. Menurutnya, tantangan terbesar yang dihadapi bangsa ini bukan hanya persoalan teknis penyelenggaraan pemilu, tetapi ancaman menguatnya kembali rezim otoriter melalui penggunaan kekuatan negara seperti militer dan kepolisian.
Hal itu disampaikan Herdiansyah dalam kegiatan bertajuk “Penguatan Demokrasi: Konsolidasi Gerakan Masyarakat Sipil Mewujudkan Sinergitas Pengawasan Pemilu Tahun 2029” yang digelar di D’Bagios Cafe, Samarinda, Kamis (23/10/2025).
“Kita harus mempertahankan demokrasi dengan baik, termasuk menghadang kembalinya rezim otoriter yang menggunakan kekuasaan pemaksanya—militer, polisi, dan lainnya. Mustahil kita hanya bertumpu pada Bawaslu, karena mereka tidak mungkin berhadapan sendirian dengan instrumen kekuasaan,” ujar pria yang akrab disapa Castro itu.
Castro menilai, Bawaslu perlu “bersenyawa” dengan masyarakat sipil agar pengawasan pemilu tidak kehilangan makna substansialnya. Ia menilai, secara kelembagaan Bawaslu memiliki keterbatasan dari segi struktur, sumber daya, dan kemampuan membaca dinamika kekuasaan yang sering bekerja di balik layar.
“Bawaslu punya problem dengan hirarki, dengan sumber daya, dan belum terbiasa membaca bagaimana kekuasaan bekerja. Karena itu, mereka perlu bersenyawa dengan masyarakat sipil. Kalau ingin demokrasi terutama demokrasi elektoral di 2029 tetap bertahan, Bawaslu harus sering berdiskusi dengan teman-teman masyarakat sipil,” tegasnya.
Meski begitu, Castro menilai bahwa kemitraan saja belum cukup untuk menjamin demokrasi berjalan baik. Ia menekankan pentingnya kolaborasi yang bersifat substansial, bukan sekadar simbolik atau seremonial.
“Berkawan saja tidak menjamin pemilu akan berjalan dengan baik. Tapi kalau Bawaslu berjalan sendiri, itu jauh lebih berbahaya. Saya sejak dulu mengkritik penyelenggara pemilu yang terlalu terjebak dalam urusan teknis semata,” ujarnya.
Menurutnya, tugas Bawaslu dan penyelenggara lainnya bukan hanya memastikan proses pemungutan suara berjalan lancar, tetapi juga ikut menumbuhkan demokrasi dalam arti yang lebih luas.
“Demokrasi bukan hanya soal hak politik. Demokrasi juga harus hadir dalam aspek ekonomi. Percuma orang memilih dengan baik kalau perutnya lapar. Jadi Bawaslu juga perlu melihat distribusi yang lebih substansial, bukan hanya urusan teknis,” jelasnya.
Castro juga menyoroti lemahnya solidaritas di kalangan masyarakat sipil yang masih berjalan dalam kelompok-kelompok kecil. Ia menilai fragmentasi tersebut berpotensi melemahkan daya tawar mereka dalam menghadapi kekuatan otoritarian negara.
“Problem kita, masyarakat sipil itu kecil-kecil dan tidak menyatu. Kalau terpecah-pecah, bagaimana mau mengawal demokrasi? Karena itu penting membangun simbol-simbol dan kerja-kerja soliditas bersama. Kalau melawan militer dengan kekuatan kecil yang tercerai-berai, ya itu mimpi,” katanya.
Untuk itu, ia mengajak seluruh elemen masyarakat sipil menurunkan ego sektoral dan membangun gerakan bersama yang lebih terorganisir guna menghadapi potensi kembalinya kekuatan militer ke ruang politik sipil.
“Kita harus menurunkan ego sedikit. Angkat kerja-kerja bersama melawan kekuasaan dan otoritarianisme, termasuk melawan kembalinya militer ke panggung demokrasi. Kalau tidak bersatu, mustahil kita bisa melawan,” pungkasnya.(MYG)