Samarinda, Cakrawalakaltim – Pada Sabtu (22/6/24), Dinas Pariwisata Provinsi Kalimantan Timur menyelenggarakan Forum Pariwisata bertema “Seminar Pakaian Adat Kutai”.
Acara yang digelar di Hotel Bumi Senyiur, Jalan Pangeran Diponegoro, Nomor 17-19 Pelabuhan, Kecamatan Samarinda Kota, Kota Samarinda ini bertujuan menggali, menghargai, dan melestarikan wastra Kalimantan Timur, khususnya baju adat Kutai sebagai warisan budaya yang berharga.
Yekti Utami, Sekretaris Dinas Pariwisata Kaltim, menjelaskan latar belakang acara ini.
“Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari keresahan teman-teman di Kesultanan Kutai mengenai penggunaan Baju Anta Kusuma yang sering kali salah tempat, seperti dipakai untuk pawai. Kami mengadakan FGD (Forum Group Discussion) sebelumnya untuk menggali lebih dalam mengenai pakem dari baju-baju adat ini,” katanya.
Dalam seminar tersebut, Aji Muhammad Roni, seorang pemerhati peninggalan Kesultanan Kukar, memberikan penjelasan rinci mengenai berbagai jenis baju adat Kutai.
“Baju China, misalnya, dikenakan oleh kerabat saat menghadiri upacara masyarakat seperti naik ayun atau tasmiyahan. Kemudian ada Baju Sakai yang awalnya hanya digunakan oleh puteri keraton, tetapi sejak tahun 1980, baju ini juga dibuat versi pria,” ungkap Aji Muhammad Roni.
Lebih lanjut, Roni menjelaskan tentang Baju Takwo yang dipakai pada perayaan upacara Erau.
“Baju Takwo sekarang sudah menjadi baju yang digunakan saat perayaan hari-hari besar. Ada juga baju Kustim yang berarti kebesaran, biasanya dipakai oleh anak raja atau kerabat yang bergelar pangeran,” tambahnya.
Dalam seminar tersebut juga dibahas tentang baju Anta Kusuma, yang disebut sebagai baju dengan kasta tertinggi.
“Baju Kuning ini memiliki pengaruh sejarah yang kuat, terutama dengan ornamen pewayangan atau dewa seperti Mahabarata. Penggunaan baju ini sangat khusus, hanya boleh dipakai pada upacara pernikahan,” jelas Roni.
Yekti Utami menegaskan pentingnya kesepakatan mengenai pakem penggunaan baju adat ini untuk mencegah kesalahan di masa depan.
“Baju Anta Kusuma dan Kustim hanya boleh dipakai pada upacara pernikahan, sementara Baju China, Takwo, dan Sakai bisa dipakai lebih bebas asalkan tetap menjaga marwahnya,” tegasnya.
Menurut Yekti, kegiatan ini juga bertujuan untuk sosialisasi dan edukasi mengenai pakaian adat Kutai.
“Baju Takwo sudah menjadi salah satu pakaian adat Kaltim, dan baju Miskat sudah menjadi baju adat Kukar. Setiap hari Kamis, PNS di Kukar mengenakan baju Miskat. Kami ingin memperkuat pemahaman dan sosialisasi agar tidak ada lagi kesalahan dalam penggunaannya,” ujar Yekti.
Selain itu, acara ini juga memberikan edukasi tentang makna simbolis dari pakaian adat tersebut.
“Misalnya, Kembang Goyang perempuan yang diarahkan ke kiri jika belum menikah dan ke kanan jika sudah menikah,” tambah Roni.
Forum ini diharapkan dapat menghasilkan panduan resmi tentang penggunaan pakaian adat Kutai dan menjadi acuan bagi masyarakat dan para perias pengantin.
“Kami juga berencana untuk menetapkan pakaian adat ini sebagai warisan budaya tak benda dan mendaftarkannya ke Kekayaan Intelektual Komunal (KIK),” ungkap Yekti.
Sebagai penutup, Yekti Utami berharap agar pakem-pakem yang telah disepakati bisa tersosialisasi dengan baik dan menjadi pedoman bagi semua pihak.
“Semoga tidak ada lagi konflik atau benturan dalam penggunaan pakaian adat ini. Kita harus menjaga dan melestarikan warisan budaya kita dengan baik,” pungkasnya.
Dengan acara ini, diharapkan bahwa warisan budaya Kalimantan Timur, khususnya baju adat Kutai, dapat dikenal dan dipahami lebih luas, serta digunakan sesuai dengan aturan dan makna yang telah ditetapkan. (AD)